Melestarikan Tradisi Majemukan

Majemuk Giriloyo 2

Sabtu pagi pukul 8 kemarin tanggal 11 Mei 2013 pemuda-pemudi dan masyarakat di Giriloyo mulai sibuk melaksanakan kerjabakti bersih-bersih, membuat tarup, membuat gunungan yang dihiasi beraneka macam hasil pertanian dan buah-buahan, membuat tumpeng dan mempersiapkan segala uba rampe yang diperlukan untuk kelancaran acara tahunan yang sudah turun temurun “Majemukan” pada nanti malam harinya.

Majemukan (tasyakuran) adalah upacara tahunan sebagai wujud rasa syukur kepada Pencipta setelah masa panen penduduk yang sudah menjadi tradisi di kampung Giriloyo mulai berabad-tahun silam. Tidak ada catatan yang pasti mengenai kapan tradisi Majemukan Giriloyo pertama kali digelar. Tapi, menurut cerita simbah-simbah yang sudah sepuh tradisi ini sudah ada semenjak mereka kecil dan dari orang-orang tua mereka.

Barangkali tradisi Majemukan mulai ada di kampung Giriloyo bersamaan dengan masuknya batik tulis Giriloyo yaitu sekitar abad 17 setelah terjadinya interaksi langsung dengan Kraton Yogyakarta saat dimana ada pembangunan makam Raja-raja Mataram di Imogiri yang tepat berada di puncak bukit Giriloyo-Imogiri, dari situ banyak warga yang dilibatkan dalam pembangunannya lalu diangkat menjadi abdi dalem hingga usia lanjut dan tutup usia, pekerjaan menjadi abdi dalem ini sudah diturunkan beberapa generasi hingga saat ini. Akan tetapi cerita ini mungkin masih perlu ditelusuri dan dikaji lebih mendalam dengan sumber-sumber dan saksi sejarah yang masih hidup untuk menguatkan kebenarannya.

Pada malam tradisi Majemukan seluruh masyarakat Giriloyo berkumpul mengarak keliling kampung gunungan dan tumpeng yang sudah dibuat diiringi kelompok penabuh sholawat rodad dan tuk bhung yang tradisional kemudian berhenti di sebuah masjid bersejarah Masjid  Sunan Cirebon (tokoh besar kerabat kraton yang dimakamkan di Pasareyan Giriloyo). Setelah itu dilakukan doa bersama dipimpin beberapa ulama besar lalu gunungan dan tumpeng diperebutkan sebagai simbol rasa syukur dan kebersamaan akan hasil panen yang berlimpah.

Setelah memperebutkan gunungan dan tumpeng, meski tidak semua kebagian, rasa bahagia tetap terpancar dari seluruh masyarakat karena yang terpenting bagi mereka adalah rasa syukur , kerukunan dan kebersamaan yang damai. Itulah esensi dari tradisi Majemukan yang sebenarnya. Kemudian setelah itu perhatian semua pengunjung tertuju pada pertunjukan seni nan religius sholawat rodad dan tuk bhung yang akan tampil bergantian sampai dini hari.

Gelaran sholawat rodad dan tuk bhung adalah bukti sejarah perpaduan Islam dan Jawa tradisional yang masing-masing mempunyai keunikan dan nilai budaya yang tinggi. Dalam sholawat rodad ada tarian kipas yang gerakannya begitu indah diiringi tabuhan tradisional yang bertempo cepat, lebih menghentak dan sangat menakjubkan. Kemudian setelah kelompok sholawat rodad membawakan beberapa lagu, giliran kelompok sholawat tuk bhung yang tampil dengan tempo lagu yang sangat lambat diikuti tabuhan mendayu-dayu seperti gamelan.

Dua kelompok sholawat tradisional Jawa-Islam inilah yang kemudian perform sampai dini hari di malam Majemukan. Selain tampil dalam acara besar tahunan dua kelompok sholawat tradisional ini biasanya mengadakan rutinan pagelaran secara bergilir bagi anggota setiap Jumat malam. Jadi misalkan kemarin malam Anda belum sempat datang, Anda tetap dapat melihat aksinya tidak harus menunggu tradisi Majemukan di tahun depan.

Demikianlah sedikit gambaran dari kampung Giriloyo yang mempunyai ragam potensi seni dan kaya budaya….

Go start here, exploring Kampung Giriloyo!

Majemuk-Bg

Mjmk04

Majemuk Giriloyo 1
Lihat Video!

©Batik Giriloyo 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *