Hari ini tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Lantas, apakah dengan diakuinya batik sebagai warisan asli Indonesia oleh dunia internasional otomatis mengangkat kesejahteraan pengrajin batik secara keseluruhan? Jawabannya adalah “TIDAK”, atau jawaban yang lebih optimis adalah “BELUM”.
Kenapa bisa demikian? Berikut penjelasannya:
Batik, khususnya batik tulis asli dikerjakan dengan proses yang cukup lama, rata-rata menghabiskan waktu 2 bulan untuk 1 lembar kain. Dan nyatanya proses ini tidak dapat dipercepat. Karena memang, proses yang lama itulah yang mempunyai nilai luhur, mempertahankan tradisi dan kemudian menimbulkan kesan klasik. Itulah kenapa batik tulis harganya cukup tinggi.
Tetapi meski harga kain batik tulis lumayan tinggi, ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan pendapatan pengrajin batik di tingkat buruh (pencanthing batik). Untuk membuat satu batik tulis membutuhkan sekitar 5 tahapan mencanthing. Jika satu tahapan membutuhkan waktu sekira satu minggu dengan upah rata-rata 80.000, berapakah penghasilan rata-rata pencanthing batik selama satu bulan? Jawabannya adalah sekitar 300 ribuan per bulan. Memang relatif kecil.
Dan sayangnya, buruh pencanthing batik ini jumlahnya masih mayoritas dari keseluruhan pengrajin batik. Tentu sangat jauh dari UMR bukan? Kelihatannya ini ada yang salah. Lalu dimana letak kesalahannya? Menjadi tantangan bagi kita semua pemerhati batik untuk memecahkannya.
Perlu diketahui, pencanthing batik akan menghabiskan waktu seharian untuk mencanthing batik (mulai pukul 8 – 16). Bahkan kadang lebih dari jam kerja normal, dilanjutkan pada malam hari. Jika alternatifnya kemudian adalah menaikkan upah buruh pencanthing batik, tentunya akan meningkatkan ongkos produksi, sehingga harga batik, takutnya akan naik lagi dan mengurangi pangsa pasar.
Inilah dilema yang harus dicarikan jalan keluarnya. Atau mungkin Anda mempunyai solusi yang mak nyus?
Mari menemui pengrajin batik di Kampung Giriloyo. Selamat Hari Batik Nasional.
Klik untuk memperbesar gambar. (SR)